Malang, malangterkini.id - Ratusan mahasiswa yang tergabung dalam aksi unjuk rasa "Indonesia Gelap" di Malang, Jawa Timur, melakukan aksi teatrikal yang dramatis dengan tiarap di jalanan aspal, sambil memohon ampun kepada pemerintah. Aksi ini dilakukan di depan Balai Kota Malang dan DPRD Kota Malang pada hari Selasa, 18 Februari 2025.
Aksi tiarap ini merupakan bentuk ekspresi keprihatinan mahasiswa terhadap kondisi masyarakat yang mereka anggap terpuruk akibat kebijakan pemerintah. Massa yang kompak mengenakan pakaian berwarna hitam secara serentak tiarap di jalanan ketika koordinator aksi memberikan instruksi. Sambil tiarap, mereka melantunkan lagu "Tanah Airku" sebagai simbol kecintaan terhadap negara yang mereka rasa sedang mengalami keterpurukan. Aksi tiarap ini berlangsung selama kurang lebih lima menit, menciptakan pemandangan yang memilukan dan penuh makna.
Daniel Alexander Siagian, salah satu orator dalam aksi tersebut, menyampaikan bahwa teatrikal ini adalah representasi dari kekeliruan kebijakan yang diambil oleh pemerintah. Dalam orasinya, Daniel dengan lantang memohon ampun kepada pemerintah, mengungkapkan rasa tidak berdaya dan muak terhadap kebijakan negara saat ini. "Negara ini benar-benar tidak memanusiakan rakyatnya," tegas Daniel. Ia menuntut kebijakan yang berpihak pada kesejahteraan rakyat, bukan sekadar memberikan bantuan makanan tanpa memperbaiki sistem pendidikan dan kesehatan yang semakin memburuk.
"Kami cuma bisa tiarap, kami rakyat biasa. Kami tidak mampu. Bagaimana kami, rakyat kecil ini bisa hidup sejahtera kalau semuanya direnggut?" teriak Daniel dengan nada frustrasi. "Kami mohon ampun, Pak. Jangan siksa rakyat terus. Kami sudah tidak kuat, kami sudah muak," lanjutnya.
Para mahasiswa menyoroti kebijakan pemangkasan anggaran di sektor pendidikan, kesehatan, dan layanan publik yang dialihkan untuk program Makan Bergizi Gratis (MBG). Mereka menilai bahwa program MBG belum tepat sasaran dan mengorbankan sektor-sektor krusial yang seharusnya menjadi prioritas utama. Dalam aksi tersebut, massa membawa berbagai spanduk dan poster yang berisi kritik tajam terhadap 100 hari pemerintahan Prabowo Subianto - Gibran Rakabuming Raka. Beberapa spanduk bertuliskan "100 Hari Lebih Keadilan Dibunuh," mencerminkan kekecewaan mendalam terhadap arah kebijakan pemerintah saat ini.
Daniel Alexander Siagian menjelaskan bahwa efisiensi anggaran yang dilakukan pemerintah berdampak pada kesengsaraan rakyat yang semakin terpuruk. Ia menilai bahwa kebijakan efisiensi anggaran tersebut salah sasaran, karena seharusnya sektor pendidikan yang diprioritaskan, bukan sebaliknya. Daniel menekankan bahwa pendidikan harus menjadi prioritas utama negara, sesuai dengan amanat konstitusi untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Massa aksi menilai bahwa kebijakan pemerintah saat ini lebih berfokus pada pemenuhan kebutuhan jangka pendek, tanpa mempertimbangkan dampak jangka panjang terhadap pembangunan sumber daya manusia.
Aksi teatrikal tiarap ini bukan hanya sekadar demonstrasi fisik, tetapi juga simbol dari ketidakberdayaan dan keputusasaan mahasiswa dalam menghadapi kebijakan pemerintah yang mereka anggap tidak adil. Mereka berharap, melalui aksi ini, suara mereka dapat didengar dan pemerintah dapat mengubah arah kebijakannya demi kesejahteraan rakyat yang lebih luas. Aksi ini juga menjadi pengingat bagi pemerintah bahwa mahasiswa, sebagai bagian dari masyarakat sipil, akan terus mengawal dan mengkritisi kebijakan yang dianggap merugikan rakyat.