Malang, malangterkini.id - Sebuah ironi tengah menyelimuti kawasan Dinoyo dan Kerto di Kota Malang, dua area yang selama ini dikenal sebagai jantung kehidupan mahasiswa karena kedekatannya dengan berbagai perguruan tinggi ternama. Anggapan umum yang menyatakan bahwa kos-kosan di sekitar kampus akan selalu ramai dan penuh peminat tampaknya mulai pudar, setidaknya dalam konteks perkembangan terkini di Malang. Beberapa waktu belakangan, fenomena menarik sekaligus mengkhawatirkan terlihat jelas: kos-kosan di Dinoyo dan Kerto, yang dulunya tak pernah sepi oleh hiruk pikuk mahasiswa, kini perlahan ditinggalkan dan menunjukkan tren penurunan minat yang signifikan.
Sebuah unggahan video di platform media sosial Instagram melalui akun @info_malang menjadi sorotan publik, menampilkan kondisi terkini di kawasan Dinoyo dan Kerto. Video tersebut menggambarkan suasana yang jauh berbeda dari citra sebelumnya, di mana deretan kos-kosan yang berjejer tampak lengang dan kurang berpenghuni. Padahal, letak geografis Dinoyo dan Kerto terbilang sangat strategis. Akses menuju Universitas Brawijaya (UB), Universitas Negeri Malang (UM), Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim (UIN), Universitas Islam Malang (Unisma), dan Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) sangatlah mudah dan dekat dari kedua kawasan ini. Unggahan tersebut bahkan mempertanyakan fenomena ini, "Mahasiswanya puluhan ribu, tapi di kawasan yang justru paling dekat sama banyak kampus sekarang sepi dan jarang peminat. Ada apa?" sebuah pertanyaan retoris yang menggugah rasa ingin tahu akan penyebab perubahan drastis ini.
Memang benar bahwa tidak bisa dikatakan bahwa seluruh kos-kosan di kawasan Dinoyo dan Kerto benar-benar sepi tanpa penghuni. Aktivitas mahasiswa masih terlihat di beberapa sudut jalan dan di beberapa bangunan kos. Masih ada mahasiswa dari luar Malang yang memilih untuk tinggal di kawasan ini karena alasan kedekatan dengan kampus. Namun, jika kita menarik mundur waktu dan membandingkan kondisi saat ini dengan situasi 5 hingga 10 tahun yang lalu, perbedaan yang mencolok sangat terasa. Kos-kosan di Dinoyo dan Kerto kini terasa lebih lengang dan jumlah peminatnya jauh berkurang.
Lantas, apa gerangan yang menyebabkan perubahan signifikan ini? Tidak ada satu jawaban tunggal yang dapat menjelaskan fenomena ini secara komprehensif. Ada berbagai faktor kompleks yang kemungkinan besar saling berkaitan dan berkontribusi terhadap penurunan minat terhadap kos-kosan di Dinoyo dan Kerto. Berdasarkan pengamatan, komentar warganet, dan pendapat dari berbagai pihak, beberapa kemungkinan penyebab utama dapat diidentifikasi.
Salah satu faktor yang paling sering dikeluhkan adalah kenaikan harga sewa kos yang signifikan di kawasan Dinoyo dan Kerto. Meskipun wajar jika kos-kosan yang berlokasi dekat dengan kampus memiliki harga sewa yang sedikit lebih tinggi dibandingkan dengan yang berada di lokasi yang lebih jauh, namun perbedaan harga yang terlalu mencolok menjadi persoalan tersendiri. Apalagi jika perbedaan harga tersebut tidak sebanding dengan fasilitas, ukuran kamar, dan kualitas bangunan yang ditawarkan.
Banyak mahasiswa yang menyuarakan keluhan mengenai mahalnya biaya kos di Dinoyo dan Kerto. Sebagai contoh, seorang mahasiswa menceritakan pengalamannya membayar sewa kos di daerah Kerto sebesar Rp 550.000 pada tahun 2023, namun biaya tersebut belum termasuk biaya keamanan, penggunaan dapur, listrik, dan ukuran kamarnya pun sangat sempit, hanya sekitar 2,5 x 1,5 meter, dengan area parkir yang terbatas. Ironisnya, dengan menambah biaya sekitar Rp 100.000, mahasiswa tersebut dapat memperoleh kamar yang jauh lebih layak dan nyaman di kawasan Jalan Soekarno-Hatta (Suhat), yang meskipun sedikit lebih jauh dari kampus, menawarkan fasilitas dan kualitas yang lebih baik.
Keluhan lain juga muncul terkait biaya kos yang mencapai Rp 1.100.000 per bulan, namun tanpa fasilitas pendingin udara (AC) dan belum termasuk biaya listrik. Meskipun ukuran kamar kos tersebut tergolong luas, dilengkapi dengan kamar mandi dalam dan area parkir yang memadai, harga tersebut dianggap terlalu mahal untuk ukuran Kota Malang. Prinsip "ada harga ada kualitas" memang berlaku, namun dalam kasus ini, perbandingan antara harga dan fasilitas yang ditawarkan dinilai kurang seimbang. Akibatnya, banyak mahasiswa yang memilih untuk mencari alternatif kos-kosan di daerah lain yang menawarkan harga yang lebih terjangkau dengan fasilitas yang sepadan atau bahkan lebih baik, meskipun lokasinya sedikit lebih jauh dari kampus. Bagi sebagian besar mahasiswa, mendapatkan kos yang layak dengan harga yang "good deal" menjadi prioritas utama, meskipun harus mengorbankan sedikit jarak tempuh ke kampus.
Faktor lain yang berkontribusi terhadap penurunan minat adalah kondisi beberapa bangunan kos yang tergolong lawas dan masih menyatu dengan rumah induk semang. Berdasarkan pengamatan, masih cukup banyak kos-kosan di kawasan Dinoyo dan Kerto yang modelnya menyatu dengan rumah pemilik kos. Hal ini tampaknya menjadi pertimbangan penting bagi mahasiswa atau calon penghuni kos generasi sekarang. Mereka cenderung tidak lagi menganggap kos-kosan yang bergabung dengan rumah induk semang sebagai pilihan yang ideal dan nyaman untuk ditinggali.
Preferensi mahasiswa saat ini lebih mengarah pada kos-kosan yang terpisah secara fisik dari rumah induk semang. Mereka merasa bahwa kos-kosan yang berdiri sendiri menawarkan tingkat kenyamanan, privasi, dan kebebasan yang lebih tinggi, terutama terkait dengan aturan jam malam dan interaksi dengan pemilik kos. Oleh karena itu, banyak mahasiswa di Malang yang lebih memilih kawasan seperti Jalan Mayjend Panjaitan, Suhat, atau Sigura-Gura, di mana mayoritas kos-kosannya terpisah dari rumah induk semang dan menawarkan fasilitas yang lebih modern dan independen.
Selain itu, kondisi fisik bangunan kos juga menjadi faktor signifikan. Di kawasan Dinoyo dan Kerto, terdapat cukup banyak kos-kosan yang bangunannya sudah tua dan beberapa di antaranya cenderung kurang layak huni. Masalah seperti dinding berjamur, struktur bangunan yang kurang kokoh, kondisi kamar yang terlalu lembab, sirkulasi udara yang buruk, serta ukuran kamar yang terlalu kecil dan sempit menjadi pertimbangan utama bagi mahasiswa yang sedang mencari tempat tinggal. Kondisi-kondisi ini jelas mengurangi daya tarik kos-kosan di kawasan tersebut, sehingga mahasiswa lebih memilih untuk mencari alternatif di tempat lain yang menawarkan lingkungan tinggal yang lebih sehat dan nyaman.
Selain preferensi terhadap model kos dan kondisi bangunan, tren mengontrak rumah secara berkelompok juga menjadi salah satu faktor yang mengurangi permintaan terhadap kos-kosan tradisional. Banyak mahasiswa saat ini yang lebih memilih untuk menyewa rumah bersama-sama dengan teman-teman mereka. Dari segi perhitungan biaya, mengontrak rumah secara berkelompok seringkali lebih ekonomis dibandingkan dengan membayar sewa kos per kamar. Selain itu, tinggal di rumah kontrakan bersama teman-teman juga menawarkan kenyamanan dan kebebasan yang lebih besar. Tidak ada aturan jam malam yang ketat, aturan tinggal yang lebih fleksibel, dan suasana kebersamaan yang lebih erat menjadi daya tarik utama dari opsi ini.
Faktor krusial lain yang sangat mempengaruhi minat mahasiswa terhadap kos-kosan di Dinoyo dan Kerto adalah masalah keamanan yang semakin mengkhawatirkan dan catatan beberapa kali menjadi titik konflik sosial. Banyak yang berpendapat bahwa tingkat keamanan di sekitar kos-kosan di Dinoyo dan Kerto cenderung menurun. Beberapa kasus pencurian sepeda motor milik penghuni kos yang terjadi di area parkir kos dan kurangnya tanggung jawab dari pihak pemilik kos menjadi preseden buruk. Jika masalah keamanan dasar seperti ini tidak dapat diatasi dengan baik, maka wajar jika calon penghuni kos merasa enggan untuk tinggal di kawasan tersebut.
Selain masalah kriminalitas, khususnya di daerah Dinoyo, kawasan ini juga memiliki catatan beberapa kali menjadi titik pecahnya konflik antar masyarakat atau kelompok mahasiswa. Beberapa insiden konflik yang melibatkan berbagai kelompok masyarakat atau mahasiswa terjadi di wilayah Dinoyo. Meskipun detail spesifik mengenai konflik tersebut tidak perlu diungkapkan, fakta bahwa Dinoyo seringkali menjadi "zona merah" saat terjadi gesekan sosial tentu menimbulkan rasa tidak aman dan nyaman bagi para penghuni kos maupun calon penghuni.
Siapa yang akan merasa nyaman tinggal di daerah yang tingkat keamanannya diragukan dan berpotensi menjadi lokasi konflik sosial? Tentu tidak ada. Oleh karena itu, tidak mengherankan jika banyak mahasiswa yang memilih untuk meninggalkan kawasan Dinoyo dan Kerto dan mencari tempat tinggal di daerah lain yang dianggap lebih aman dan kondusif.
Keseluruhan situasi ini tentu sangat disayangkan. Padahal, tinggal di kos-kosan di kawasan Dinoyo dan Kerto memiliki banyak keuntungan. Kedekatan dengan berbagai kampus memudahkan aksesibilitas untuk kegiatan akademik. Selain itu, kawasan ini juga dikenal memiliki banyak warung makan murah dan enak, serta warung kopi (warkop) yang nyaman dan terjangkau, menjadi tempat favorit mahasiswa untuk bersosialisasi dan mengerjakan tugas. Namun, sayangnya, faktor-faktor krusial seperti biaya sewa kos yang mahal, kualitas bangunan kos yang kurang memadai, serta masalah keamanan dan kenyamanan masih menjadi kendala utama.
Jika saja faktor-faktor negatif ini dapat diatasi dan diperbaiki, sangat diyakini bahwa kos-kosan di kawasan Dinoyo dan Kerto akan kembali ramai dan dibanjiri peminat. Potensi kawasan ini sebagai pusat hunian mahasiswa masih sangat besar mengingat lokasinya yang strategis. Perlu adanya upaya kolektif dari para pemilik kos, pemerintah daerah, dan pihak-pihak terkait lainnya untuk mengatasi masalah-masalah ini agar daya tarik Dinoyo dan Kerto sebagai kawasan ideal untuk hunian mahasiswa dapat kembali bersinar. Peningkatan kualitas bangunan kos, penyesuaian harga sewa yang lebih realistis, dan peningkatan keamanan lingkungan menjadi kunci utama untuk membalikkan tren penurunan minat ini. Dengan mengatasi tantangan-tantangan tersebut, bukan tidak mungkin jika Dinoyo dan Kerto akan kembali menjadi primadona bagi para mahasiswa yang mencari tempat tinggal nyaman dan strategis di Kota Malang.