Malang, malangterkini.id - Gelombang tuntutan keadilan menggema dari sejumlah calon pekerja migran (CPMI) yang merasa menjadi korban praktik eksploitasi dan kekerasan yang diduga dilakukan oleh pemilik PT NSP, sebuah perusahaan pengerah tenaga kerja yang beroperasi di wilayah Sukun, Kota Malang. Kisah pilu para CPMI ini mencuat ke permukaan melalui pendampingan dan advokasi yang dilakukan oleh Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI), sebuah organisasi yang gigih memperjuangkan hak-hak pekerja migran dan calon pekerja migran di tanah air.
Dina Nuriati, yang menjabat sebagai Dewan Pertimbangan SBMI, mengungkapkan bahwa pihaknya telah menerima aduan dari enam CPMI yang secara aktif mencari perlindungan akibat dugaan kuat terjadinya tindak kekerasan dan eksploitasi yang dilakukan oleh PT NSP. Keenam CPMI ini, menurut Dina, hanyalah sebagian kecil dari jumlah yang lebih besar, yakni 47 orang lainnya, yang juga merasakan dampak buruk dari praktik perusahaan tersebut. Mereka semua kini bersatu dalam harapan untuk mendapatkan keadilan atas perlakuan yang mereka alami dan ketidakpastian yang kini melingkupi kehidupan mereka.
Lebih lanjut, Dina menjelaskan bahwa dugaan kasus tindak pidana perdagangan orang (TPPO) dan penganiayaan terhadap salah seorang calon buruh migran telah memasuki ranah hukum dan sedang menunggu proses persidangan di pengadilan. Dalam kasus penganiayaan yang sempat mencuat dan menjadi perhatian publik, pemilik PT NSP yang bernama Hermin Naning Rahayu (45) telah ditetapkan sebagai tersangka. Penetapan tersangka ini menjadi langkah awal dalam penegakan hukum terhadap dugaan pelanggaran yang dilakukan oleh perusahaan pengerah tenaga kerja tersebut.
Namun, permasalahan yang dihadapi oleh para CPMI ini tidak hanya terbatas pada kasus penganiayaan yang sedang berjalan. Dina Nuriati menekankan bahwa keenam CPMI yang melapor ke SBMI mewakili 47 calon pekerja migran lainnya yang juga menjadi korban. Mereka semua mengalami nasib yang serupa, yakni gagal berangkat ke luar negeri untuk bekerja sesuai dengan harapan dan janji yang diberikan oleh PT NSP. Akibatnya, kini mereka terpaksa menjalani kehidupan dalam ketidakpastian, mencari nafkah dengan pekerjaan serabutan yang jauh dari impian mereka untuk memiliki penghasilan yang lebih baik di negeri orang.
Ironisnya, ketidakberangkatan ini juga membawa dampak psikologis dan sosial yang mendalam bagi para korban. Berdasarkan pengakuan yang disampaikan kepada SBMI, beberapa CPMI bahkan merasa takut untuk kembali ke kampung halaman mereka. Ketakutan ini bukan tanpa alasan, melainkan karena mereka terjerat dalam lilitan utang yang mungkin timbul akibat biaya pendaftaran atau proses yang tidak transparan, serta dokumen-dokumen pribadi mereka yang ditahan oleh PT NSP atau perusahaan lain yang mengaku sebagai penyalur resmi pekerja migran. Penahanan dokumen ini semakin mempersempit ruang gerak dan kemerdekaan para korban, membuat mereka merasa terperangkap dalam situasi yang sulit.
Dina Nuriati mengungkapkan sebuah fakta yang sangat memprihatinkan terkait legalitas perusahaan tersebut. "Kemarin ada CPMI yang gagal berangkat keluar negeri. Dokumen mereka disita karena terungkap perusahaan tidak memiliki izin atau ilegal," terangnya kepada awak media pada Senin, 28 April 2025. Pernyataan ini mengindikasikan bahwa PT NSP diduga kuat beroperasi tanpa memiliki izin yang sah sebagai perusahaan pengerah tenaga kerja migran. Jika benar demikian, maka seluruh proses perekrutan dan penempatan yang dilakukan oleh perusahaan tersebut patut dipertanyakan legalitasnya dan berpotensi melanggar hukum yang berlaku.
Menurut catatan SBMI, laporan dari para korban mulai berdatangan sejak awal Maret 2025. Para korban ini berasal dari berbagai kabupaten dan provinsi di Indonesia, menunjukkan bahwa praktik yang diduga melanggar hukum ini memiliki jangkauan yang luas. SBMI menduga kuat bahwa para korban telah menjadi korban TPPO dalam proses penempatan yang dilakukan oleh PT NSP. Modus yang diduga digunakan adalah dengan memaksa para korban untuk mengikuti pelatihan yang disamarkan, yang pada kenyataannya merupakan kerja paksa tanpa adanya upah yang layak. Eksploitasi tenaga kerja dengan dalih pelatihan ini merupakan salah satu ciri khas dari praktik TPPO, di mana korban dipaksa bekerja di bawah kendali pelaku tanpa mendapatkan hak-haknya sebagai pekerja.
Lebih lanjut, Dina menjelaskan kondisi tempat penampungan yang disediakan oleh PT NSP sangat tidak layak huni. Para calon pekerja migran dipaksa tinggal di lingkungan yang tidak sehat dan tidak manusiawi, yang semakin memperburuk kondisi fisik dan psikologis mereka. Selain itu, para korban juga dilaporkan mengalami berbagai bentuk kekerasan, baik fisik maupun psikologis. Kekerasan fisik dapat berupa tindakan pemukulan atau penganiayaan lainnya, sementara kekerasan psikologis dapat berupa intimidasi, ancaman, atau tekanan mental yang membuat para korban merasa takut dan tidak berdaya.
Kasus ini sebenarnya sempat mencuat dan menjadi viral di media sosial pada bulan November 2024, setelah salah satu korban memberanikan diri melaporkan tindak penganiayaan yang dialaminya ke aparat penegak hukum. Laporan ini secara langsung menyeret nama pemilik PT NSP sebagai pelaku. Viralnya kasus ini diharapkan dapat membuka mata publik dan pihak berwenang terhadap praktik-praktik yang merugikan dan melanggar hak asasi manusia yang dialami oleh para calon pekerja migran.
Dina Nuriati dengan tegas menyatakan harapannya agar kasus ini tidak hanya dilihat dari satu sisi saja. Ia menekankan bahwa apapun jenis pekerjaannya, tidak ada pembenaran untuk tindakan pemukulan atau penganiayaan. "Bagaimana memanusiakan manusia? Apa dibenarkan jika majikan pukuli pekerjanya. Ini sudah mencederai nilai kemanusiaan," ungkap Dina dengan nada prihatin. Pernyataan ini menyoroti pentingnya menjunjung tinggi martabat dan hak-hak setiap individu, termasuk para pekerja migran dan calon pekerja migran yang seringkali berada dalam posisi yang rentan.
Dina juga mengungkapkan bahwa saat ini sejumlah korban mengalami kondisi psikologis yang sangat tertekan. Bahkan, beberapa di antara mereka dilaporkan mengalami trauma mendalam akibat pengalaman buruk yang mereka alami selama berada di bawah kendali PT NSP. Trauma ini tidak hanya berdampak pada kesehatan mental mereka saat ini, tetapi juga berpotensi mempengaruhi kehidupan mereka di masa depan.
Oleh karena itu, SBMI menyatakan komitmennya untuk terus mengawal kasus ini hingga tuntas dan memastikan bahwa para korban mendapatkan keadilan yang seadil-adilnya. Sebagai langkah konkret, SBMI terus melakukan komunikasi dan koordinasi dengan Badan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI), sebuah lembaga pemerintah yang memiliki mandat untuk melindungi hak-hak pekerja migran Indonesia. Melalui kerjasama dengan BP2MI, SBMI berharap agar kasus ini mendapatkan perhatian yang serius dari pemerintah dan langkah-langkah penegakan hukum yang efektif dapat segera diambil.
"Kami mendesak pemerintah untuk memberi perhatian pada persoalan ini dari kejahatan perdagangan orang," tegas Dina. Desakan ini menunjukkan bahwa SBMI melihat kasus ini tidak hanya sebagai kasus penganiayaan atau pelanggaran ketenagakerjaan biasa, tetapi juga memiliki unsur TPPO yang merupakan kejahatan transnasional yang serius dan memerlukan penanganan khusus dari pemerintah.
Lia, salah satu calon buruh migran yang menjadi korban langsung dari praktik PT NSP, berbagi pengalamannya yang memilukan. Ia mengaku merasa sangat tertekan secara batin dan tidak berdaya untuk bertindak saat itu. Ketidakberdayaan ini semakin diperkuat oleh apa yang ia saksikan terjadi pada teman-temannya yang juga menjadi korban perlakuan buruk dari pihak PT NSP. "Mereka tertekan batin, tidak bisa bertindak," kata Lia dengan nada sedih. Sebagai seorang yang berasal dari Palembang, Lia juga mengungkapkan rasa malunya untuk kembali ke kampung halaman karena terlilit utang yang kemungkinan timbul akibat proses perekrutan yang tidak jelas.
Lia juga menyampaikan harapannya agar kasus yang didalamnya terdapat unsur penganiayaan ini tidak ditenggelamkan atau diabaikan oleh pihak berwenang. Ia menekankan bahwa para korban mengalami trauma yang mendalam akibat perlakuan yang mereka terima. "Kasus ini harapannya dimunculkan, jangan ditenggelamkan. Nasib kami tidak menentu disana itu. Dan dokumen kami ditahan semua sama mereka," imbuh Lia dengan nada putus asa. Penahanan dokumen pribadi semakin menambah penderitaan para korban, karena dokumen tersebut merupakan identitas dan hak mereka sebagai warga negara.
Hanifah (21), seorang perempuan muda yang berasal dari Kabupaten Malang, juga turut menyampaikan harapannya agar kasus kekerasan yang diduga dilakukan oleh Hermin, pemilik PT NSP, segera mendapatkan keputusan hukum yang tetap dan adil. Dengan mata berkaca-kaca, Hanifah mengungkapkan, "Saya harap ada penegakan hukum disini," sembari menahan tangis.
Selain menjadi korban TPPO dan eksploitasi, Hanifah juga menjadi korban penganiayaan oleh pemilik PT NSP. Ia mengungkapkan rasa frustrasinya karena kasus penganiayaan yang menimpanya telah berjalan selama enam bulan tanpa ada kejelasan mengenai hukuman bagi pelaku. "Saya dianiaya, sudah enam bulan saya menunggu kasus ini. Sampai sekarang pelaku belum dihukum," ucapnya dengan nada pilu. Keterlambatan dalam proses hukum ini semakin menambah penderitaan para korban dan menimbulkan pertanyaan mengenai efektivitas sistem peradilan dalam melindungi hak-hak mereka.
Terpisah, Kepala Satuan Reserse Kriminal (Kasatreskrim) Polresta Malang Kota, Kompol M Sholeh, memberikan perkembangan terbaru terkait penanganan kasus ini. Ia mengungkapkan bahwa berkas perkara terkait TPPO serta penganiayaan telah memasuki tahap 2, yang berarti berkas tersebut telah dilimpahkan ke pihak kejaksaan. "Berkas sudah tahap 2, sudah di kejaksaan," pungkasnya secara terpisah. Pelimpahan berkas ke kejaksaan merupakan langkah maju dalam proses hukum, dan selanjutnya pihak kejaksaan akan melakukan penelitian terhadap berkas tersebut sebelum memutuskan untuk melimpahkannya ke pengadilan untuk disidangkan.
Kasus dugaan TPPO yang menjerat Hermin, pemilik PT NSP, dijadwalkan akan memasuki sidang perdana pada hari Rabu, 30 April 2025. Sidang ini akan menjadi babak baru dalam upaya para korban untuk mendapatkan keadilan. Sementara itu, Hanifah juga menuntut agar kasus penganiayaan yang menimpanya juga dapat segera disidangkan dan pelaku mendapatkan hukuman yang setimpal dengan perbuatannya.
Kisah pilu para calon pekerja migran ini menjadi pengingat akan pentingnya pengawasan dan penegakan hukum yang ketat terhadap perusahaan-perusahaan pengerah tenaga kerja migran. Pemerintah dan pihak terkait perlu mengambil langkah-langkah yang lebih proaktif untuk mencegah terjadinya praktik eksploitasi dan TPPO, serta memberikan perlindungan yang maksimal bagi para pekerja migran dan calon pekerja migran yang seringkali berada dalam posisi yang rentan. Keadilan bagi para korban PT NSP ini diharapkan dapat menjadi preseden dan memberikan harapan bagi para pekerja migran lainnya yang mungkin mengalami nasib serupa.