Malang, malangterkini.id - Suasana karnaval yang seharusnya meriah di Kelurahan Mulyorejo, Kecamatan Sukun, Kota Malang, mendadak berubah ricuh pada Minggu (13/7) siang. Insiden kekerasan ini melibatkan warga dan peserta karnaval "sound horeg", dipicu oleh protes keras warga terhadap kebisingan sistem suara yang berlebihan. Kejadian ini menyoroti kembali isu toleransi dan tata krama dalam penyelenggaraan acara publik, terutama yang melibatkan tingkat kebisingan tinggi.
Pusaran masalah bermula ketika salah satu peserta karnaval dengan nomor urut 2, yang membawa perangkat "sound horeg" dengan volume yang memekakkan telinga, melintas di depan kediaman pasangan suami istri MA (57) dan RM (55). Menurut penuturan Kepala Seksi Hubungan Masyarakat (Kasi Humas) Polresta Malang Kota, Ipda Yudi Risdiyanto, pemicu utama keributan adalah intensitas suara yang sangat keras dari sound system tersebut. "Jadi pemicunya karena suara sound system yang keras. Salah satu warga menegur karena anaknya sedang sakit," jelas Ipda Yudi, sebagaimana dikutip dari detikJatim.
Istri MA, RM, yang pertama kali melayangkan protes. Dengan nada suara yang meninggi, ia berteriak di tengah jalan, mencoba menarik perhatian peserta karnaval untuk mengurangi volume suara. Desakan ini bukan tanpa alasan; di dalam rumah mereka, putra pasangan tersebut sedang dalam kondisi sakit dan sangat terganggu oleh kebisingan yang luar biasa. Situasi genting ini memperlihatkan betapa dampak kebisingan tak hanya sekadar ketidaknyamanan, melainkan bisa menjadi ancaman serius bagi kesehatan dan kenyamanan individu yang rentan.
Melihat istrinya berteriak dan tak dihiraukan, MA kemudian keluar dari rumah. Dalam keputusasaan dan kekesalan yang memuncak, MA mengambil tindakan yang lebih langsung. Ia mendorong salah satu peserta kirab budaya yang berada di dekat perangkat "sound horeg" tersebut. Tindakan MA, yang mungkin didasari oleh kepanikan dan keinginan melindungi anaknya, justru menjadi katalisator bagi eskalasi konflik. Dorongan tersebut, meskipun bisa jadi dilakukan secara spontan dan tanpa niat melukai serius, diinterpretasikan secara berbeda oleh rombongan karnaval.
Sontak, melihat rekan mereka didorong, emosi para peserta karnaval lainnya tersulut. Rasa solidaritas yang keliru dan amarah yang meledak-ledak menguasai situasi. Tanpa pikir panjang, beberapa peserta karnaval mulai memukuli MA. Aksi pengeroyokan ini berlangsung cepat, menyebabkan MA mengalami luka-luka serius. Ipda Yudi menambahkan, "Karena mengetahui temannya didorong, dari peserta yang lain tidak terima akhirnya terjadi pemukulan." Akibat serangan tersebut, MA mengalami luka pada bagian pelipisnya, sebuah bukti fisik dari kekerasan yang terjadi.
Insiden ini menggarisbawahi pentingnya edukasi dan kesadaran bersama dalam menyelenggarakan acara publik. Kebisingan, terutama dari "sound horeg" yang dikenal memiliki volume ekstrem, seringkali menjadi sumber keluhan dan konflik di tengah masyarakat. Perlu ada regulasi yang jelas dan penegakan hukum yang tegas terkait batas ambang kebisingan, terutama di area permukiman, agar kejadian serupa tidak terulang di masa mendatang. Toleransi, saling menghargai, dan komunikasi yang efektif antara penyelenggara acara, peserta, dan masyarakat sekitar menjadi kunci utama untuk menjaga ketertiban dan harmoni. Pihak berwenang diharapkan dapat menyelidiki lebih lanjut insiden ini dan memberikan sanksi yang sesuai bagi pihak-pihak yang terbukti bersalah, sekaligus menjembatani dialog antara masyarakat dan komunitas pecinta "sound horeg" untuk menemukan titik temu yang konstruktif. Peristiwa di Mulyorejo ini seharusnya menjadi pelajaran berharga bagi semua pihak agar semangat kegembiraan karnaval tidak berakhir dengan insiden kekerasan dan kerugian.