GfC8TSAlTSGoTUAoTfz7GpA9TA==

Menguak Tirai Misogini: Tantangan Tersembunyi di Malang Raya dan Seruan untuk Perubahan

Malangmalangterkini.id - Misogini, sebuah konsep yang mungkin terdengar asing bagi sebagian telinga, sejatinya merupakan manifestasi kebencian atau sikap merendahkan terhadap perempuan. Seringkali, perilaku ini muncul dalam bentuk yang begitu halus sehingga luput dari kesadaran banyak orang, namun dampaknya begitu besar dan merusak. Berakar dari bahasa Yunani, di mana "misos" berarti kebencian dan "gyne" berarti perempuan, misogini dapat termanifestasi dalam beragam bentuk. Mulai dari pelecehan verbal yang merendahkan, kekerasan fisik yang menyakitkan, diskriminasi yang menghambat peluang di tempat kerja, hingga pengabaian hak-hak fundamental perempuan.

Praktik misogini ini tidak mengenal batas ruang. Ia dapat ditemukan di ranah domestik, tersembunyi di balik pintu-pintu rumah tangga. Ia merajalela di dunia maya, menyebar melalui unggahan dan komentar di media sosial. Lingkungan kerja yang seharusnya profesional pun tak luput dari bayang-bayang misogini. Bahkan, di ruang-ruang publik yang seharusnya aman bagi semua, perempuan masih kerap menjadi sasaran dari sikap merendahkan ini.

Dampak yang ditimbulkan oleh misogini sungguh tidak bisa diremehkan. Secara psikologis, korban perempuan dapat mengalami penurunan harga diri yang signifikan, kecemasan yang berkepanjangan, bahkan depresi kronis yang dapat menghancurkan kualitas hidup mereka. Di sektor pendidikan dan karier, misogini menjadi penghalang besar. Ia menghambat akses perempuan terhadap kesempatan yang adil, memperparah kesenjangan upah yang sudah ada, dan membatasi representasi perempuan di posisi-posisi strategis, baik di bangku kuliah maupun di jenjang profesional. Dampak-dampak ini menciptakan lingkaran setan yang sulit diputus, melanggengkan ketidakadilan dan merugikan seluruh masyarakat.

Potret Misogini di Malang Raya Tahun 2025: Realitas yang Belum Sepenuhnya Terungkap

Meskipun pembicaraan mengenai misogini masih belum menjadi arus utama di Malang Raya, kenyataannya adalah kasus-kasus terkait perilaku ini terus bermunculan. Data dari kepolisian, khususnya Polresta Malang Kota, memberikan gambaran awal yang mengkhawatirkan. Dalam kurun waktu Januari hingga Mei 2025 saja, tercatat ada empat kasus kekerasan terhadap anak yang secara spesifik mengarah pada pencabulan dan sodomi. Walaupun data rinci mengenai kasus misogini secara spesifik belum dipublikasikan secara luas, angka-angka ini mengindikasikan bahwa berbagai bentuk kekerasan dan diskriminasi terhadap perempuan dan anak tetap menjadi masalah serius yang patut menjadi perhatian utama.

Fenomena misogini ini tidak hanya terbatas pada lingkungan rumah tangga atau tempat-tempat sepi yang tersembunyi dari pandangan publik. Kini, misogini telah merambah ruang-ruang publik, menunjukkan adaptasinya terhadap dinamika sosial. Laporan dari lembaga bantuan hukum seperti LBH Surabaya Pos Malang, bersama Koalisi Masyarakat Sipil Malang Raya, menyoroti insiden kekerasan verbal yang dialami oleh para relawan medis perempuan saat terlibat dalam aksi massa. Kejadian semacam ini menunjukkan bahwa niat baik untuk membantu sesama pun tidak menjamin perlindungan dari perilaku misoginis. Lebih lanjut, jurnalis perempuan yang bertugas di lapangan juga tidak luput dari sasaran pelecehan dan intimidasi, menghambat kebebasan pers dan melanggar hak-hak mereka sebagai profesional. Ini adalah bukti bahwa misogini mampu menyelinap ke dalam berbagai profesi dan situasi, menyerang individu yang paling rentan.

Ketika Suara Korban Kerap Tenggelam dalam Sunyi

Salah satu aspek paling menyedihkan dari kasus-kasus misogini adalah kenyataan bahwa banyak di antaranya tidak pernah sampai ke ranah hukum. Suara korban kerap kali tenggelam dalam ketakutan, rasa malu yang mendalam, atau ketidakpercayaan bahwa laporan mereka akan ditindaklanjuti secara adil oleh aparat. Kurangnya kepercayaan terhadap sistem peradilan dan penegak hukum menjadi faktor krusial yang membuat angka kasus yang tercatat di statistik hanyalah puncak dari gunung es masalah yang jauh lebih besar.

Pernyataan dari Kapolresta Malang Kota, Kombes Pol Nanang Haryono, yang menekankan pentingnya kesadaran kolektif masyarakat untuk mencegah kekerasan terhadap perempuan dan anak, sejatinya adalah sebuah seruan yang mendesak. Namun, di sisi lain, desakan publik juga menuntut lebih dari sekadar imbauan. Banyak pihak, termasuk organisasi masyarakat sipil dan aktivis, berpendapat bahwa minimnya data yang transparan dan terbuka dari aparat penegak hukum dan lembaga terkait menghambat upaya pencegahan yang komprehensif dan efektif. Tanpa adanya data yang akurat dan transparan, bagaimana mungkin masyarakat dapat berpartisipasi aktif dalam mengawasi, mengevaluasi, dan pada akhirnya menekan angka kekerasan? Transparansi data adalah kunci untuk membangun akuntabilitas dan kepercayaan publik.

Kritik Tajam: Dari Cengkeraman Budaya Patriarki hingga Lemahnya Dukungan

Di balik angka kasus yang mungkin terlihat minim dalam laporan resmi, budaya patriarki masih mencengkeram kuat di Malang Raya. Budaya ini menjadi akar permasalahan yang melanggengkan misogini. Banyak kasus kekerasan dan pelecehan terhadap perempuan seringkali dianggap "wajar" oleh sebagian masyarakat, atau diselesaikan secara kekeluargaan tanpa proses hukum yang semestinya. Lebih parah lagi, korban seringkali dipersalahkan atas apa yang menimpa mereka, atau diabaikan sama sekali, memperparah trauma yang sudah ada.

Di sisi lain, sistem pendampingan hukum dan psikologis yang tersedia bagi korban masih sangat terbatas. Keterbatasan ini membuat korban merasa sendirian dalam menghadapi trauma dan proses pemulihan yang panjang dan menyakitkan. Dukungan yang minim ini tidak hanya menghambat pemulihan korban, tetapi juga menurunkan keberanian mereka untuk melaporkan kasus, semakin memperburuk situasi.

Pendidikan gender yang inklusif masih menjadi pekerjaan rumah yang sangat besar bagi Malang Raya. Edukasi mengenai kesetaraan gender, membangun relasi yang sehat, dan memahami hak-hak dasar perempuan harus mulai diintegrasikan ke dalam kurikulum pendidikan, baik di sekolah-sekolah dasar hingga perguruan tinggi. Lebih dari itu, edukasi ini juga perlu disebarkan secara luas di ruang-ruang komunitas, melalui lokakarya, seminar, dan kampanye-kampanye publik. Mahasiswa, organisasi masyarakat sipil, dan media memiliki peran yang sangat penting sebagai agen perubahan sosial. Mereka adalah garda terdepan yang dapat memutus siklus misogini melalui penyebaran informasi, advokasi, dan pembangunan kesadaran.

Membangun Kesadaran Kolektif dan Mendesak Aksi Nyata

Melawan misogini bukan hanya tanggung jawab perempuan yang menjadi korban, tetapi juga tanggung jawab seluruh masyarakat. Misogini adalah masalah sosial yang menunjukkan kegagalan kolektif kita untuk menciptakan lingkungan yang adil dan aman bagi semua. Di Malang Raya, urgensi untuk melawan misogini harus dimulai dari langkah-langkah konkret: edukasi yang masif dan berkelanjutan, dukungan nyata dan komprehensif bagi para korban, serta keterbukaan dan keadilan yang mutlak dalam setiap penanganan kasus.

Tanpa langkah-langkah konkret dan komitmen yang kuat dari semua pihak, kekerasan terhadap perempuan akan terus hidup dalam diam, tersembunyi di balik normalisasi dan asumsi-asumsi usang. Sudah waktunya masyarakat Malang Raya membuka mata lebar-lebar, mengakui realitas misogini, dan bersuara lebih lantang. Perempuan berhak untuk hidup aman, dihormati, dihargai, dan bebas dari kebencian, di mana pun mereka berada. Ini adalah seruan untuk aksi, sebuah panggilan untuk perubahan yang mendalam dan berkelanjutan demi terwujudnya masyarakat yang lebih setara dan manusiawi di Malang Raya.

Advertisement
pasang iklan media online nasional pewarta network
Advertisement
pasang iklan media online nasional pewarta network
Advertisement
pasang iklan media online nasional pewarta network

Ketik kata kunci lalu Enter

close
pasang iklan media online nasional pewarta network