GfC8TSAlTSGoTUAoTfz7GpA9TA==

Harmoni Spiritual dan Ekologi: Malam Keheningan di Pujon Menyelami Kearifan Lokal untuk Kelestarian Hutan

Malang, malangterkini.id - Di tengah balutan kegelapan malam, sebuah keheningan yang mendalam menyelimuti kawasan elok Wana Wisata Taman Kemesraan, di Pujon, Kabupaten Malang. Suasana tenang yang kontras dengan hiruk pikuk siang hari ini menjadi latar yang sakral bagi sebuah pertemuan penting. Kelompok dari Perhutani Kesatuan Pemangkuan Hutan (KPH) Malang, bersama para jurnalis, dan sejumlah pengunjung yang hadir, berkumpul untuk sebuah diskusi bertema besar 'Forest Talk Ecotourism With Local Wisdom for A Sustainable Future' (Dialog Hutan: Ekowisata dengan Kearifan Lokal untuk Masa Depan Berkelanjutan). Acara yang digelar di area Perhutani ini bukan sekadar diskusi biasa, melainkan sebuah inisiasi untuk membangkitkan kesadaran kolektif akan pentingnya pelestarian alam melalui pendekatan budaya dan spiritual.

Puncak dari acara malam itu adalah sebuah pertunjukan teatrikal memukau yang berhasil menyedot seluruh perhatian hadirin. Di area perkemahan Wana Wisata Taman Kemesraan, pada Sabtu (18/10/2025) malam, Komunitas Budaya Penak Goblok mementaskan sebuah pertunjukan yang secara instan menciptakan keheningan total. Teatrikal tersebut mengisahkan perjalanan tragis kerusakan lingkungan, dimulai dari penggambaran aksi pembalakan pohon liar, hingga puncak bencana berupa kebakaran hutan yang menghanguskan. Aksi dramatis ini diakhiri dengan sebuah ritual simbolis: penanaman pohon.

Momen penutup teatrikal tersebut terasa sangat sakral. Sebuah bibit pohon diarak oleh seorang penari wanita, diiringi oleh alunan suara dalang yang memegang gunungan wayang—simbol kosmologi dan kehidupan. Komunitas Budaya Penak Goblok membawakan lakon berjudul "Ati Nyawiji Alam Nyekseni" (Hati Menyatu, Alam Bersaksi), sebuah pesan kuat tentang keharusan manusia untuk bersatu hati demi alam. Mereka kemudian mengajak seluruh peserta, baik dari Perhutani maupun masyarakat, untuk terlibat dalam aksi tanam pohon bersama, meskipun di bawah naungan malam. Ritual penanaman pohon, yang dipimpin oleh nuansa mistis harum semerbak wewangian dupa, berfokus pada penanaman salah satu jenis pohon vital, yaitu pohon trembesi. Suasana malam yang sepi, ditambah dengan aroma dupa dan simbolisme budaya yang kental, menjadikan kegiatan penanaman ini sebuah janji spiritual terhadap Bumi.

Kepala Perhutani KPH Malang, Kelik Djatmiko, menyampaikan bahwa masalah kerusakan alam telah mencapai titik yang memerlukan perhatian serius dan tindakan konkret dari Perhutani. Bencana ekologis seperti kebakaran hutan, tanah longsor, aktivitas penebangan liar, dan penumpukan sampah telah menjadi tantangan nyata bagi keseimbangan ekosistem hingga saat ini. "Memang kerusakan alam saat ini menjadi perhatian serius kami (Perhutani). Bencana alam tidak bisa dihindari. Efeknya tidak hanya berdampak pada orang-orang yang merusak, tetapi kepada semuanya, seluruh umat manusia dan makhluk hidup," jelas Kelik Djatmiko dengan nada keprihatinan.

Menyikapi kompleksitas masalah ini, Kelik Djatmiko menawarkan sebuah solusi filosofis yang ia sebut sebagai Eko Sufisme. Konsep ini, menurutnya, adalah sebuah integrasi antara tiga elemen penting: intelektual, spiritual, dan emosional. Ia berargumen bahwa upaya restorasi alam tidak cukup hanya mengandalkan kemajuan teknologi semata, tetapi juga memerlukan sentuhan emosi dan hati nurani. "Solusinya menurut saya Eko Sufisme, yakni memadukan intelektual, spiritual, dan emosional," tambahnya. Pendekatan ini bertujuan untuk menumbuhkan kesadaran lingkungan yang lebih dalam dan menyentuh sisi batin masyarakat luas. Kolaborasi antara penanaman bibit pohon dengan pertunjukan teatrikal di malam hari dipilih secara sengaja karena, seperti yang dijelaskan Kelik, "Inilah mengapa penanaman bibit pohon juga dikolaborasikan dengan aksi teatrikal di malam hari karena momen penting adalah waktu malam yang mewakili keheningan, yakni dengan hati dan perasaan." Momen hening malam dianggap sebagai waktu yang paling tepat untuk mengaktifkan kesadaran spiritual dan emosional dalam diri manusia.

Lokasi Taman Kemesraan sendiri dinilai sangat mendukung inisiasi ini. "Ini menjadi momen pas dan mendukung karena lokasi yang dekat dengan sumber air dan mendukung acara penanaman pohon," tambah Kelik. Ia memiliki harapan besar bahwa tujuan utama dari penyelenggaraan acara ini adalah untuk mengembalikan keseimbangan ekologi, agar di masa depan, dunia ini dapat kembali dipenuhi oleh tumbuhan dan pepohonan yang rimbun. "Iya, pohon-pohon ini juga memberikan manfaat kepada kita semua, sehingga kegiatan ini bisa diikuti oleh banyak orang dan ikut serta menanam pohon," harapnya. Harapan ini mencerminkan visi jangka panjang untuk mendorong partisipasi publik yang lebih luas dalam gerakan konservasi.

Kelik Djatmiko juga menekankan komitmen institusional Perhutani. Setiap tahun, Perum Perhutani memiliki target ambisius untuk melakukan penanaman bibit pohon di area yang dikelola seluas 100 hektare. "Kita juga menargetkan penanaman bibit pohon di area Perhutani seluas 100 ha," tegasnya, menunjukkan keseriusan dalam menjalankan program penghijauan secara berkelanjutan.

Dari sudut pandang kebudayaan, budayawan dari komunitas Budaya Penak Goblok, Bambang Haryanto, memberikan penjelasan tentang makna di balik aksi teatrikal yang mereka sajikan. Menurutnya, pertunjukan tersebut bersifat simbolis yang sangat konsen terhadap nilai persatuan dalam keberagaman, yakni Bhinneka Tunggal Ika. Simbolisme yang dihadirkan dalam teatrikal tersebut mewakili semua kelompok agama, di mana unsur-unsur seperti punden (tempat sakral lokal), pura (tempat ibadah Hindu), kapel (tempat ibadah Kristen), dan mushala (tempat ibadah Muslim) semuanya terwakili di lokasi wisata milik Perhutani tersebut. Pesan yang ingin disampaikan adalah bahwa pelestarian alam adalah tanggung jawab universal, melampaui batas-batas keyakinan.

Bambang Haryanto kemudian menyinggung falsafah luhur Jawa, "Memayu Hayuning Bawana". Secara harfiah, falsafah ini berarti "memperindah keindahan dunia" atau menjaga kelestarian semesta. "Jadi orang Jawa itu mempunyai falsafah 'Memayu Hayuning Bawana' atau memperindah keindahan dunia. Jadi kita harus tahu diri dan tahu batas merawat alam," tuturnya. Falsafah ini menekankan pentingnya kesadaran diri dan batas-batas dalam berinteraksi dengan alam, mengajarkan manusia untuk menjadi pelindung, bukan perusak, dunia. Harapan Bambang Haryanto adalah agar semangat dan kegiatan merawat alam seperti yang mereka lakukan malam itu dapat menular, menciptakan gerakan kolektif di tengah masyarakat untuk melestarikan Bumi demi generasi mendatang. Malam di Pujon itu pun berakhir, meninggalkan kesan mendalam akan pentingnya memadukan kearifan spiritual, budaya, dan komitmen nyata dalam upaya penyelamatan lingkungan.

Advertisement
pasang iklan media online nasional pewarta network
Advertisement
pasang iklan media online nasional pewarta network
Advertisement
pasang iklan media online nasional pewarta network

Ketik kata kunci lalu Enter

close
pasang iklan media online nasional pewarta network